KELAINAN
KONGENITAL PADA GIGI
Kelainan bawaan atau kelainan
kongenital atau cacat bawaan adalah kelainan dalam pertumbuhan
struktur bayi yang
timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur.
Kelainan bawaan dapat dikenali sebelum kelahiran, pada saat kelahiran atau
beberapa tahun kemudian setelah kelahiran. Kelainan bawaan dapat disebabkan
oleh keabnormalan genetika, sebab-sebab alamiah atau faktor-faktor lainnya yang
tidak diketahui.
Kelainan kongenital
dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian
segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya
sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan
merupakan suatu seleksi alami terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan.
Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenitaI besar, umumnya akan dilahirkan
sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk
masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat,
kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya.
Etiologi
Kelainan Kongenital
Penyebab langsung kelainan kongenital
sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan embryonal dan fetaI dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor
secara bersamaan.
Beberapa faktor etiologi yang diduga
dapat mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital antara lain:
1.
Kelainan Genetik dan Kromosom
Kelainan genetik pada ayah atau ibu
kemungkinan besar akan berpengaruh atas kelainan kongenital pada anaknya. Di
antara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi
dapat pula diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur dominan
("dominant traits") atau kadang-kadang sebagai unsur resesif.
Penyelidikan daIam hal ini sering sukar, tetapi adanya kelainan kongenital yang
sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-langkah selanjutya. Dengan adanya kemajuan
dalam bidang teknologi kedokteran , maka telah dapat diperiksa kemingkinan
adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah dapat
dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa contoh kelainan
kromosom autosomal trisomi 21 sebagai sindroma down (mongolism). Kelainan pada
kromosom kelamin sebagai sindroma turner.
2.
Faktor Mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama
kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan hentuk rgan tubuh hingga
menimbulkan deformitas organ cersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan
organ itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ. Sebagai
contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki sepcrti talipes
varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus (clubfoot).
3.
Faktor infeksi
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan
kongenital ialah infeksi yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam
trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode
organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ
rubuh. Infeksi pada trimesrer pertama di samping dapat menimbulkan kelainan
kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai
contoh infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleb virus Rubella.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester
pertama dapat menderita kelainan kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan
pada sistem pendengaran sebagai tuli dan ditemukannya kelainan jantung bawaan.
Beberapa infeksi lain pada trimester pertama yang dapat menimbulkan kelainan kongenital
antara lain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis,
kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan
pertumbuhan pada system saraf pusat seperti hidrosefalus, mikrosefalus, atau
mikroftalmia.
4. Faktor Obat
Beberapa jenis obat tertentu yang
diminum wanita hamil pada trimester pertama kehamilan diduga sangat erat
hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu
jenis obat yang telah diketahui dagat menimbulkan kelainan kongenital ialah
thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia.
Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda dengan tujuan yang
kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital,
walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti.
Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari pemakaian
obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini kadang-kadang sukar
dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat. Hal ini misalnya
pada pemakaian trankuilaiser untuk penyakit tertentu, pemakaian sitostatik atau
prepaat hormon yang tidak dapat dihindarkan; keadaan ini perlu dipertimbangkan
sebaik-baiknya sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.
5.
Faktor Umur Ibu
Telah diketahui bahwa mongoIisme lebih
sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa
menopause. Di bangsal bayi baru lahir Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo pada
tahun 1975-1979, secara klinis ditemukan angka kejadian mongolisme 1,08 per 100
kelahiran hidup dan ditemukan resiko relatif sebesar 26,93 untuk kelompok ibu
berumur 35 tahun atau lebih; angka keadaan yang ditemukan ialah 1: 5500 untuk
kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1: 600 untuk kelompok ibu berumur 35-39
tahun, 1 : 75 untuk kelompok ibu berumur 40 - 44 tahun dan 1 : 15 untuk
kelompok ibu berumur 45 tahun atau lebih.
6. Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai
hubungan pula dengan kejadian kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh
ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk
mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang
normal.
7.
Faktor Radiasi
Radiasi ada permulaan kehamiIan
mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya
riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat
mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan
kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk keperluan diagnostik atau
terapeutis sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan, khususnya pada hamil
muda.
8.
Faktor Gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan
gizi berat dalam masa kehamilan dapat menimbulkan kelainan kongenital. Pada
manusia, pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan
kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan makanan
lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik
gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi protein, vitamin A ribofIavin,
folic acid, thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan kejadian &elainan
kongenital.
9.
Faktor-faktor Lain
Banyak kelainan kongenital yang tidak
diketahui penyebabnya. Faktor janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup
janin diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia,
hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya.
Seringkali penyebab kelainan kongenitai tidak diketahui.
(Jurnal
Asri Arumsari, Alwin kasim, bagian bedah mulut fakultas Kedokteran Gigi UNPAD)
Tumbuh
Kembang Gigi-Geligi Normal
Inisiasi (Bud Stage)
Adanya
bukti perkembangan gigi manusia bisa diobservasi pada awal minggu ke – 6 usia
embrio. Sel pada lapisan basal epitelium oral berpoliferasi lebih cepat
dibandingkan sel yang berdekatan. Akhirnya epitelia menebal dibagian lengkung
gigi. Nantinya yang meluas sepanjang seluruh margin bebas rahang. Hal ini
disebut dengan “ premordium dari bagian ektodermal gigi “. Dan hasilnya disebut
lamina dental. Pada waktu yang bersamaan, 10 bulatan atau pembengkakan ovoid
terjadi pada tiap rahang pada posisi yang akan diduduki oleh gigi sulung. Beberapa sel pada lapisan basal mulai
berpoliferasi lebih cepat daripada sel yang berkembang. Sel – sel yang
berpoliferasi ini mengandung seluruh potensial pertumbuhan gigi. Molar
permanent sama hal nya dengan gigi sulung muncul dari lamina dental. Insisor
permanent, kaninus, dan premolar berkembang dari “ bud” ( kuncup ) gigi sulung
yang sebelumnya. Tidak adanya hubungan kogenital pada gigi merupakan hasil (
akibat ) dari kurangnya inisiasi penangkapan dalam proliferasi sel. Adanya
superrnumery gigi merupakan hasil dari organa enamel yang terus berkembang.
Proliferasi (Cap Stage)
Proliferasi
sel berlangsung selama cap stage sebagai akibat pertumbuhan yang tidak merata (
tidak sama ) pada berbagai bagian kuncup, bentuk topi ( caps )terbentuk. Suatu
invaginasi yang dangkal muncul pada permukaan dalam kuncup. Sel – sel perifer
pada “ cap” kemudian membentuk outer enamel dan inner enamel epitelium. Defisiensi pada tahap proliferasi akan
berakibat pada gagalnya benih gigi untuk berkembang dan kurangnya jumlah gigi
dibandingkan normalnya. Proliferasi yang berlebihan pada sel bisa menghasilkan
sisa – sisa jaringan epitel. Sisa – sisa tersebut bisa tetap tidak aktif atau
menjadi teraktivasi sebagai akibat dari iritasi atau stimulus. Jika sel
berdiferensiasi sebagian/ terlepasnya dari organa enamel dalam keadaannya yang
terdiferensiasi sebagian, sel – sel tersebut menganggap fungsi sekretori umum
untuk semua sel epitel dan kistapun berkembang. Dan jika sel – sel
berdiferensiasi sempurna atau terpisah dari organa enamel, maka menghasilkan
enamel dan dentiin.
Histodiferensiasi dan Morfodiferensiasi (Bell Stage)
Epitelium
terus berlangsung berinvaginasi dan mendalam hingga organ enamel membentuk “
bell “. Selama tahap ini, terjadi diferensiasi sel – sel dental papila menjadi odontoblas
dan sel – sel inner menjadi odontoblast. Histodiferensiasi menandakan akhir
dari tahap proliferatif dengan hilangnya kemampuan untuk membelah. Gangguan
diferensiasi pada pembentukan sel benih gigi berakibat pada keabnormalan
struktur dentin dan enamel. Contohnya : amelogenesis imperfecto. Kegagalan
odontoblas berdiferensiasi dengan baik, dan keabnormalan struktur dentin akan
membentuk dentinogenesis imperfecta.
Pada
tahap morfodiferensiasi, sel-sel pembentuk tersusun untuk membatasi bentuk dan
ukuran gigi. Proses ini terjadi sebelum deposisi matriks. Pola morfologi gigi
menjadi terbentuk saat inner enamel epithelium tersusun sehingga membatasi
diantaranya dan odontoblas menguraikan dentinoenamel junction nantinya.
Gangguan pada morfodiferensiasi akan berakibat pada keabnormalan bentuk dan
ukuran gigi. Contohnya : peg teeth, tipe lain dari mikrodonsia, dan
makrodonsia.
Tahap Aposisi
Aposisi
adalah pengendapan matriks dari struktur jaringan keras gigi. Pertumbuhan
aposisi dari enamel dan dentin adalah pengendapan yang berlapis – lapis dari
matriks ekstra seluler. Pertumbuhan aposisi ditandai oleh pengendapan yang
teratur dan berirama dari bahan ekstra seluler yang tidak mempunyai kemampuan
sendiri untuk pertumbuhan akan dating.
Bila
terjadi gangguan pada tahap ini maka akan mengakibatkan kelainan/perubahan
struktur dari jaringan keras gigi. Misalnya pada hipoplasia enamel,gigi
terlihat kecoklatan akibat tetracycline.
Tahap Kalsifikasi
Kalsifikasi
adalah tahap dimana terjadi pengendapan garam – garam kalsium anorganik selama
pengendapan matriks. Kalsifikasi dimulai selama pengendapan matriks oleh
endapan dari suatu nidus kecil, selanjutnya nidus garam – garam kalsifikasi
anorganik bertambah besar lapisan – lapisan yang pekat.
Apabila
bila tahap ini terganggu,maka akan terbentuk butir kalsium yang tidak melekat
atau tidak menyatu dengan dentin. Kekuranagan seperti ini sangat mudah dikenali
di dalam dentin, tetapi itu semua dapat dikenali walaupun tidak jelas dalam
kalsifikasi tulang dan enamel.
Tahap Erupsi
Tahap
ini adalah tahap dimana gigi telah terbentuk sempurna,khususnya mahkota gigi
dan gigi melakukan pergerakan ke alah oklusal (erupsi). Dan pada tahap ini juga
dimulai perkembangan dari rahang (bertambah panjang dan tinggi).
Kelainan Struktur gigi
1. Hipoplasia Enamel
Enamel
hipoplasia adalah defisiensi kualitas enamel karena terjadinya penyimpangan
selama perkembangan dan dapat terjadi pada pembentukan pit, groove, atau area
yang lebih besar. Hipoplasia email sering ditemukan dan sering terjadi pada
sekitar 10 % populasi. Hipoplasia email merupakan istilah untuk menunjukkan
pembentukan defek sempurna pada email yang menghasilkan cacat menyeluruh atau
perubahan dalam bentuk. Hipoplasia email dapat mengenai gigi susu atau tetap.
Penyakit
sistemis disertai kelainan degeneratif sewaktu hamil, juga dapat herediter dan
terjadi kelainan degeneratif pada sel ameloblas yang mengganggu pembentukan
email. Bila sel ameloblas mengalami kerusakan selama periode pembentukan gigi.
Yaitu dalam masa pembentukan matriks email, gigi akan mengalami defek dalam
pembentukannya.
Banyak
faktor baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui dapat menimbulkan jejas
pada sel ameloblas dan menyebabkan hipoplasia. Defisiensi nutrisi dari vitamin
A, C, D dapat menyebabkan hipoplasia sistemis. Penderita dengan riwayat
riketsia (kekurangan vitamin D) seringkali menunjukkan hipoplasia berat.
Penyakit
yang berhubungan dengan demam tinggi, terutama campak dan cacar iaimenyebabkan ceruk
horizontal. Ceruk ini merupakan tempat berkumpulnya sisa makanan dan bakteri.
Menyebabkan warna coklat tua. Selain itu, masih ada penyakit sistemis lain,
misalnya:
·
Toksemia atau penyakit kandungan lain yang dapat mengganggu pembentukan
email in utero
·
Skalartina pada anak-anak atau bayi
·
Defisiensi kalsium, fosfor
·
Gangguan congenital
·
Demam eksantematus pada bayi.
Penyebab
lain hipoplasia adalah siphilis kongenital. Pada wanita hamil yang terinfeksi dengan syhiphilis yang tidak
diobati akan menyebabkan spirochaeta menyerang janin sesudah minggu ke-16 dan
benih gigi menjadi cacat. Pada anak-anak tanda kerusakan yang karakteristiknya dapat terlihat pada
gigi anterior tetap atau posterior. Terlihat pengurangan dimensi mesiodistal
gigi-geligi yang terkena.
Hipokalsemia merupakan penurunana kadar kalsium dalam
serum dan dapat menyebabkan lubang atau lekukan pada gigi geligi. Keadaan ini
mungkin terlihat pada penyakit pada penyakit hipoparatiroidisme dan defisiensi
vitamin D. Perubahan yang terjadi sama seperti yang terlihat pada hipoplasia
sistemis.
Bahan
kimia dapat menyebabkan gangguan hipoplastik sehingga email tampak berbercak
putih yang makin lama makin coklat. Kebanyakan fluor dapat menyebabkan dental
fluorosis, terjadi klasifikasi email sehingga bewarna seperrti kapur yang
kemudian mengalami pigmentasi sehingga bewarna coklat tidak beraturan (motteld).
Derajat kerusakan bertambah bila kosentrasi fluor bertambah.
Etiologi enamel hipoplasia:
1.
Penyakit defisiensi vitamin D (Rickets), anak dengan celah bibir/langit-langit, Down syndrome,
kelainan jantung bawaan, penyakit gangguan metabolisme, cerebral palsy, dll.
2.
Gangguan pada masa kelahiran, seperti kelahiran
sulit (bayi kurang oksigen), berat badan lahir rendah, kelahiran prematur,
kernikterus (kuning patologis pada bayi), dll.
3.
Penyakit infeksi pada masa kehamilan (demam tinggi,
infeksi sitomegalovirus, rubela, toksoplasmosis) atau infeksi berat pada masa
bayi dan anak.
4.
Infeksi dan trauma pada gigi susu dapat berakibat
hipoplasia email pada gigi tetap penggantinya.
(Hall R.K. Pediatric Orofacial Medicine and
Pathology. Chapman and Hall. 1994)
Gambaran klinis:
1. Jenis
kualitatif : berkurangnya mineralisasi
(hipomineralisasi), secara klinis bermanifestasi sebagai hipomineralisasi
(amelogenesis imperfekta) dan aplasia email.
2. Jenis kuantitatif : mineralisasi normal, ketebalan
email berkurang.
Secara klinis, tampak gambaran yang bervariasi. Gigi
dapat tampak cekung berwarna cokelat karena hampir tidak terbentuk email.
Hipoplasia dapat pula tampak sebagai ceruk kecil, barisan lekukan horizontal
atau ceruk, atau tampak sederhana sebagai hilangnya lapisan email.
2.
Hipokalsifikasi Enamel (Opasitas Email)
Opasitas enamel adalah perubahan kualitatif terhadap
translusensi enamel.
Gambaran klinis:
Bercak putih opak yang
tampak pada gigi-geligi tetap dan gigi-geligi susu.
Kerusakan tampak sebagai bercak putih karena kekurangan
kalsium pada saat serangan.
3.
Amelogenesis Imperfecta
Merupakan
kelainan herediter yang tampak sebagai perubahan pengaturan atau struktur gen
yang berhubungan dengan email. Ditemukan dalam bentuk hipoklasifikasi enamel,
hipoklasifikasi email, hipoplasia email atau keduanya namun dentin dan pulpa
normal. Baik gigi susu maupun tetap dapat terserang. Insidennya adalah 1 dalam
15000 orang.
Banyak
pola herediter yang ditemui, diantaranya adalah autosomal dominan, resesif,
X-linked, sehingga jumlah individu yang terkena dalam satu keluarga dapat
bervariasi. Bentuk yang paling sering adalah X linked dan menarik karena gen X
mengatur ukuran dan bentuk gigi manusia. Kelainan ini mempunyai riwayat
keluarga. Oleh karena itu, beberapa anggota keluarga dapat mempunyai penyakit
ini dalam beberapa generasi. Cacat dalam gen ini menyebabkan email mengalami
hipoklasifikasi atau hipoplasia.
Secara
klinis dapat bervariasi barupa ceruk, lekukan, defek horizontal atau vertikal
dan tidak ada hubungannya dengan kronologis perkembangannya. Tipe yang paling
umum adalahhipoklasifikasi yang bervariasi dan ketebalan gigi normal, bewarna
coklat, rapuh serta lunak. Kalkulus dapat terbentuk banyak sekali pada daerah
yang rusak sehingga menyebabkan fraktur email menjauhi dentin. Begitu email
fraktur, dentin terlihat terlihat sehingga cepat rusak, meninggalkan hanya
akar. Pada radiogram tampak email hampir tak terlihat, seperti bayangan atau
sama sekali tidak ada.
Etiologi
Enamel merupakan jaringan yang mengalami mineralisasi
tingkat tinggi dengan lebih dari 95% volumenya disusun oleh kristal-kristal
hidroksiapatit yang begitu besar dan sangat teratur. Pembentukan struktur
kristal hidroksiapatit ini disinyalir dikontrol secara ketat oleh ameloblas
melalui interaksi sejumlah molekul matriks organik yang mencakup amelogenin,
enamelin, ameloblastin, tuftelin, amelotin, dan dentin sialophosphoprotein.
Gangguan yang terjadi pada satu atau lebih dari gen-gen ini dapat menebabkan
terjadinya amelogenesis imperfekta.
Salah satu gen yang paling besar pengaruhnya terhadap
pembentukan enamel adalah amelogenin. Gen ini merupakan protein yang disekresi
oleh ameloblas dan berfungsi untuk membentuk matriks organik enamel. Mutasi
yang dilaporkan biasa terjadi pada gen ini adalah penghapusan beberapa bagian
dari gen, single base mutation, dan pemberhentian kodon prematur. Beberapa
bagian gen ini bersifat kritis terhadap penhaturan ketebalan enamel, sementara
bagian lainnya berperan penting dalam mineralisasi enamel.
Gambaran klinis
Secara klinis, amelogenesis imperfekta dapat tampak
bervariasi antara lin berupa ceruk, lekukan, defek horizontal atau vertikal dan
tidak ada hubungan dengan kronologis perkembangannya. Tipe yang paling umum
adalah hipokalsifikasi yang bervariasi dan ketebalan gigi normal, berwarna
cokelat, rapuh serta lunak.
(Crawford, Peter J.M
dkk. 2007. Amelogenesis Imperfecta. Orphanet Journal of Rare Disease)
4.
Dentinogenesis Imperfecta
Email
normal terbentuk, tetapi dentin kurang mineralisasinya sehingga gigi tampak
kebiru-biruan, merah, akar pendek berliku-liku, dapat obliterasi, email dapat
pecah karena sokongan dentin yang lemah, dentin cepat abrasi, erosi, dan akar
terlihat. Biasanya merupakan bagian osteogenesis imperfecta.
Dentinogenesis
imperfecta lebih sering ditemukan dibandingkan amelogenesis imperfecta dan
ditandai dengan pembentukan dentin yang tidak teratur, baik pada gigi susu
maupun gigi tetap, sebagai akibat perubahan kromosom 4 dari struktur gen yang
berhubungan dengan pembentukan dentin. Ini merupakan faktor dominan turunan
atau cacat genetik yang terlihat pada 1 dalam 8.000 orang.
Secara
klinis gigi dapat berbentuk normal. Tanda karakteristik adah warna biru abu-abu
atau violet dan dapat opalesen. Sepihan email terjadi karena kerusakan pada
tempat persambungan dentindengan email. Keadaan ini menyebabkan atrisi berat
seperti yang terlihat pada amelogenesis imperfecta.
Radiogram
menunjukkan perubahan karakteristik seperti penutupan ruang pilpa, akar yang
memendek, konstriksi pertautan semen-email yang memberi gambaran mahkota
seperti bel. Dentinogenesis imperfecta biasanya terlihat pada kasus
osteogenesis imperfecta (suatu penyakit keturunan lain yang ditandai dengan
pembentukan kolagen tipe 1 yang tidak sempurna dan menyebabkan tulang rapuh dan
warna sklera mata yang biru).
Dentinogenesis imperfekta terjadi akibat perubahan
kromosom 4 dari struktur gen yang berhubungan dengan pembentukan dentin. Gen yang sangat berhubungan dengan dentinogenesis
imperfekta adalah gen dentino sialophosphoprotein (DSPP). Gen DSPP ini
berfungsi untuk menghasilkan protein dengan nama serupa. Begitu dihasilkan,
protein DSPP ini akan terpotong menjadi tiga bagian yaitu: dentino
sialoprotein, dentino glikoprotein, dan dentino fosfoprotein. Dentino glikoprotein dan dentino fosfoprotein
terlibat dalam pengerasan kolagen dan berperan penting dalam deposisi kristal
mineral di antara serat-serat kolagen (mineralisasi).
Gangguan pada gen DSPP ini akan menyebabkan terganggunya
proses mineralisasi pada dentin sehingga terjadilah dentinogenesis imperfekta. Dentinogenesis imperfekta diturunkan dalam pola
autosom dominan. Ini berarti, cukup satu kopi gen yang terganggu dalam tiap sel
untuk dapat menyebabkan kelainan ini. Terbukti dalam kebanyakan kasus, pasien
mendapat kelainan ini hanya dari salah satu orang tuanya.
Gejala klinis:
Gigi berwarna biru keabu-abuan atau kuning kecoklatan,
akar translusen, gigi lemah dan rapuh.
(Beattie, ML dkk. 2007. Phenotype
Variation in Dentinogenesis Imperfecta/Dentin dysplasia. US National Library of
Medicine)
Kelainan Jumlah gigi
1.
Hipodonsia
Kegagalan
perkembangan satu atau dua benih gigi relatif umum terjadi dan sering kali
bersifat herediter. Ada beberapa sindrome yang disertai hipodonsia, yang paling
umum adalah Sindrome Down. Gigi yang paling sering tidak tumbuh adalah molar
ketiga, premolar kedua, dan insisif lateral atas. Sumbing palatal merupakan
kelainan perkembangan lainnya yang berhubungan dengan hipodonsia. (Sudiono, 2008 : 23)
2. Anodonsia
Kegagalan
perkembangan seluruh gigi (anodonsia) jarang ditemukan. Anodonsia berkaitan
dengan penyakit sistemis, displasia ektodermal anhidrotik herediter yang
merupakan suatu kelainan perkembangan ektodermal dan umumnya diturunkan sebagai
sex-linked. Ptia lebih sering daripada wanita.
Pada
anodonsia, proc. alveolaris tanpa adanya dukungan oleh gigi menjadi tidak
berkembang membuat profil menyerupai orang yang sudah tua dikarenakan
kehilangan dimensi vertikal. (Sudiono, 2008 : 24)
3. Gigi Berlebih (supernumerary teeth)
Supernumerary
teeth adalah gigi tambahan/berlebih, sehingga
jumlah gigi yang terbentuk dalam rahang lebih banyak dari jumlah normal. Supernumerary teeth dapat menyebabkan
susunan gigi-geligi yang terlalu berjejal atau malah dapat menghambat
pertumbuhan gigi sebelahnya.
Supernumerary teeth atau gigi lebih merupakan suatu kelainan
jumlah gigi berupa bertambahnya gigi dari jumlah normalnya dan dapat ditemukan
di semua bagian lengkung gigi. Gigi lebih pada periode gigi sulung lebih
jarang terjadi dibandingkan pada periode gigi permanen. Penelitian pada
populasi Kaukasia memperlihatkan prevalensi 0,2 - 0,8 % pada periode gigi
sulung dan 1,5 – 3,5 % pada periode gigi permanen. Sedangkan studi
epidemiologi pada anak di Jepang hanya 0,06 % yang terdapat gigi lebih pada gigi
sulungnya. Perbandingan ditemukannya gigi lebih pada laki-laki dan
perempuan adalah 2:1. Kasus gigi lebih 98 % terjadi pada
maksila, dengan 75 % - nya terletak di anterior. Gigi lebih pada periode gigi sulung tidak
selalu diikuti gigi lebih pada periode gigi permanennya, dan sebaliknya gigi
lebih pada periode gigi permanen tidak selalu ada gigi lebih pada periode gigi
sulungnya. Menurut Welbury, 30 – 50 % kasus gigi sulung lebih yang
terletak pada premaksila, akan diikuti gigi lebih pada gigi permanennya.
Etiologi
dari gigi lebih tidak diketahui dengan pasti. Terdapat beberapa teori
mengenai etiologi gigi lebih, yaitu teori dikotomi dan teori hiperaktifitas.
Teori dikotomi adalah gigi lebih merupakan hasil dikotomi dari tooth bud, sedangkan teori
hiperaktifitas adalah gigi lebih merupakan hasil hiperaktifitas dari lamina
dental. Munculnya gigi lebih pada beberapa anggota keluarga yang sama
mengarahkan anomali ini diwariskan secara genetik atau X-linked.
Gigi
lebih pada periode gigi sulung biasanya berupa mesiodens atau gigi supplemental insisif lateral.
Gigi lebih yang morfologinya menyerupai gigi normal disebut supplemental, sedangkan gigi lebih
yang tidak menyerupai gigi normal disebut accessory. Russell & Folwarczna (2003) mengelompokan
gigi lebih berdasarkan waktu munculnya pada periode gigi permanen atau gigi
sulung, dan berdasarkan morfologinya yaitu supplemental, konus dan
tuberkel. Gigi lebih juga dibedakan berdasarkan lokasinya yaitu
mesiodens, paramolar dan distomolar. Gigi lebih yang berlokasi di
premaksila dan berdekatan dengan sutura mid-line
disebut mesiodens. Paramolar dan distomolar adalah gigi lebih yang
terletak di posterior. Gigi lebih dapat muncul secara unilateral bahkan
bilateral. Gigi lebih dapat menyebabkan erupsi ektopik gigi sekitarnya dan
menyebabkan maloklusi. Menurut Welbury (1999) gigi lebih yang erupsi
dengan morfologi yang normal atau gigi supplemental akan menyebabkan gigi
berjejal setempat pada daerah disekitar gigi lebih.
Manajemen
gigi lebih tergantung jenis dan posisi gigi tersebut, dan pengaruh yang
potensial terjadi pada gigi-geligi yang berdekatan. Manajemen gigi lebih
adalah pencabutan atau tanpa pencabutan. Kasus gigi lebih dengan indikasi
untuk dilakukan pencabutan adalah: erupsi insisif sentral terlambat atau terhalang,
dan terdapat perubahan erupsi atau pergeseran gigi insisif sentral. Sedangkan
kasus gigi lebih dengan indikasi tanpa pencabutan adalah: erupsi gigi
sekitarnya yang baik, dan tindakan pencabutan akan berakibat buruk pada
vitalitas gigi sekitarnya. Gigi lebih insisif sulung dapat dipertahankan
bila terdapat ruang yang cukup untuk gigi tersebut dalam lengkung rahang dan
gigi tersebut harus diekstraksi pada saat gigi insisif permanennya siap untuk
erupsi. Identifikasi gigi suplemental atau gigi lebih yang bentuk dan ukurannya
menyerupai dengan gigi sekitarnya adalah dengan membandingkan gigi pada sisi
yang berlawanan. Gigi yang bentuk dan ukurannya paling menyerupai gigi pada
sisi yang berlawanan lah yang harus dipertahankan.
Etiologi
Penyebab dari supernumerary teeth belum diketahui dengan pasti. Kelainan ini
dapat terjadi bila ada proliferasi sel yang berlebihan pada saat pembentukan
benih gigi, sehingga gigi yang terbentuk melebihi jumlah yang normal. Pada
beberapa kasus, kelainan ini dapat diturunkan dari orang tua.
Selain itu, supernumerary teeth
juga bisa merupakan bagian dari penyakit atau sindroma tertentu, yaitu cleft lip and palate (sumbing pada
bibir dan langit-langit), Gardner’s
syndrome, atau cleidocranial dysostosis. Pada kelainan-kelainan
tersebut, biasanya supernumerary teeth
mengalami impaksi (tidak dapat tumbuh di dalam rongga mulut).
Gambaran Klinis
Supernumerary
teeth dapat memiliki bentuk yang sama atau berbeda
dengan gigi normal. Bila berbeda, bentuknya dapat konus (seperti kerucut), tuberculate (memiliki banyak tonjol
gigi), atau odontome (bentuknya
tidak beraturan).
Supernumerary teeth lebih
sering terjadi pada rahang atas dibandingkan rahang bawah. Gigi berlebih
ini juga dapat terbentuk di berbagai bagian rahang, yaitu pada daerah gigi
insisif depan atas (disebut juga mesiodens),
di sebelah gigi molar (disebut juga paramolars),
di bagian paling belakang dari gigi molar terakhir (disebut juga disto-molars), atau di sebelah gigi
premolar (disebut juga parapremolars).
Supernumerary teeth yang paling
sering dijumpai adalah mesiodens.
Kelainan ini lebih sering terjadi pada gigi tetap dibandingkan gigi susu.
Kelainan Bentuk gigi
1. Geminasi
Geminasi merupakan gigi yang besar karena satu benih gigi berkembang
membentuk dua gigi. Pada kelainan geminasi ini menyebabkan terpisah nya mahkota
gigi secara menyeluruh atau sebagian melekat pada satu akar dengan satu saluran
akar.
2. Fusi
Fusi merupakan gigi yang besar (makrodonsia) dengan satu mahkota besar
yang terdiri atas persatuan mahkota-mahkota dan akar-akar. Hal ini dikarenakan satu gigi dibentuk dua benih gigi
yang terpisah. Fusi sulit dibedakan dengan geminasi. Selain dengan pembuatan
radiogram, menghitung jumlah gigi yang ada dapat menolong hal ini karena pada
fusi ada satu gigi yang hilang.
3. Dens invaginatus
Dens invaginatus berarti adanya gigi dalam gigi. Pada radiogram tampak
kelainan gigi karena invaginasi enamel ke dalam lekukan yang dalam di dalam
gigi. Sering kali terlihat pada daerah ceruk lingual gigi insisif kedua atas.
Adanya debris dalam invaginasi membuat kerusakan pada gigi ini cenderung tidak
terdeteksi. Radang periapeks merupakan indikasi pertama dari adanyaproses
kerusakan gigi.
4. Dilaserasi
Dilaserasi merupakan suatu angulasi akar yang abnormal terhadap aksis
memanjang dari mahkota gigi. Umumnya deviasi angulasi terlihat sangat tajam,
hamper tegak lurus. Mineralisasi gigi tetangganya sebelum gigi yang mengalami
kelainan ini menjadi penyebab terjadinya dilaserasi akar.
5. Gigi Hutchinson dan Mulberry Molar
Gigi Hutchinson dan Mulberry molar ditemukan pada penderita sifilis kongenital
yang terjadi akibat infeksi dari ibu melalui plasenta ke janin yang telah
mencapai tahap perkembangan gigi tetap. Patogenesis dari kelainan ini adalah
bakteri Treponema palidum menyebabkan reaksi radang kronis, fibrosis dalam
folikel gigi sehingga terjadi perubahan dalam penekanan pada sel ameloblas dan
menyebabkan terjadinya hipoplasia, dan proliferasi epitel odontogenik ke dalam
papilla dentis sehingga terbentuk takik. Secara klinis gigi insisif terlihat
kecil, bentuk menggembung dibagian tengah atau mengalami invaginasi menguncup
ke arah insisal, pada gigi molar bentuk seperti bulan, permukaan kasar, banyak
ceruk dan tonjolan.
6. Mutiara enamel
Mutiara enamel adalah enamel berbentuk bola
kecil bulat oval yang dapat dijumpai pada atau di dalam akar. Suatu mutiara
enamel adalah enamel mahkota yang sering berekstensi sampai ke bi- atau trifurkasi.
7. Dwarf root
Dwarf root adalah kelainan pada akar gigi. Mahkota gigi normal, tetapi
akar gigi pendek dan gemuk. Biasanya gigi dengan kelainan ini lebih mudah.
8. Taurodonsia
Gigi
malformasi berakar jamak yang ditandai oleh perubahan ratio mahkota terhadap
akar dimana mahkota ada adalam panjang normal, akar-akarnya abnormal pendek dan
ruang pulpa abnormal besar
Keainan Ukuran gigi
1. Mikrodonsia
Defenisi. Mikrodontia adalah gigi yang memiliki ukuran lebih
kecil dari normal. Mikrodontia lokal yang hanya mengenai satu atau beberapa
gigi lebih sering ditemui daripada yang mengenai seluruh gigi. Kelainan ini
lebih sering terjadi pada gigi-gigi permanen dibandingkan gigi-gigi sulung.
Selain itu juga lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Microdontia
lebih sering terjadi pada gigi insisif dua rahang atas dan gigi molar tiga
rahang atas.
Penyebab. Kelainan ini dapat disebabkan oleh banyak
faktor. Microdontia yang mengenai seluruh gigi jarang terjadi dan bisa
ditemukan pada kelainan yang diturunkan dari orangtua (congenital
hypopituitarism). Selain itu bisa juga disebabkan karena adanya radiasi atau
perawatan kemoterapi saat pembentukan gigi.
Microdontia lokal diduga disebabkan oleh adanya mutasi pada gen tertentu. Kelainan ini juga bisa merupakan bagian dari
sindroma tertentu (penyakit yang terdiri dari beberapa gejala yang timbul
bersama-sama), seperti sindroma trisomy 21 atau sindroma ectodermal
dysplasia. Selain itu microdontia juga sering ditemui pada kelainan cleft lip
and palate (bibir sumbing dan celah pada langit-langit rongga mulut).
Gejala. Mahkota gigi yang mengalami microdontia
tampak lebih kecil daripada ukuran yang normal. Gigi tersebut dapat berbentuk
kerucut atau sama seperti gigi normal hanya dengan ukuran yang lebih kecil.
Perawatan. Perawatan microdontia biasanya meliputi
pemberian restorasi estetik untuk memperbaiki bentuk dan ukuran gigi, misalnya
dengan pemasangan mahkota tiruan (crown) atau dengan penambalan. Juga bisa
dilakukan perawatan orthodonti (pemakaian kawat gigi) untuk merapatkan ruangan
antar gigi-geligi bila diperlukan. Lakukan konsultasi dengan dokter gigi Anda
untuk mendapatkan perawatan yang sesuai bila gigi Anda memiliki kelainan ini.
2. Makrodonsia
Definisi. Makrodontia adalah gigi yang memiliki ukuran lebih
besar dari normal. Kelainan ini bisa mengenai semua gigi atau hanya beberapa
gigi saja. Makrodontia total yang meliputi seluruh gigi sangat jarang terjadi,
biasanya hanya satu gigi saja yang mengalami kelainan ini. Makrodontia lebih
sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan.
Penyebab. Makrodontia dapat disebabkan oleh berbagai faktor
yang saling mempengaruhi. Makrodontia yang mengenai seluruh gigi dapat terjadi
pada kelainan pituitary gigantism, yaitu suatu kelainan yang disebabkan oleh
adanya gangguan keseimbangan hormonal. Makrodontia yang hanya mengenai gigi
tertentu saja (macrodontia lokal) kadang ditemukan pada kelainan unilateral
facial hyperplasia yang menyebabkan perkembangan benih gigi yang berlebihan.
Selain itu, makrodontia juga dapat berhubungan dengan beberapa penyakit yang
diturunkan.
Gejala Klinis. Ukuran gigi tampak lebih besar daripada
gigi normal. Macrodontia merupakan
kelainan yang cukup jarang ditemukan pada gigi permanen. Biasanya mengenai gigi
molar tiga rahang bawah dan premolar dua rahang bawah, serta insisif sentral
rahang atas.
Perawatan. Perawatan kasus ini akan dilakukan bila
besarnya ukuran gigi menyebabkan keluhan, misalnya gigi yang berjejal atau
faktor estetis yang berkurang. Perawatan kelainan ini biasanya meliputi
perbaikan ukuran gigi dengan cara mengecilkan gigi yang mengalami makrodontia.
Bila tidak mungkin dilakukan perbaikan dan dapat menimbulkan kelainan lainnya,
maka dapat dilakukan pencabutan dan dibuatkan gigi tiruan. Segera lakukan
konsultasi dengan dokter gigi Anda bila Anda memiliki kelainan ini
Anomali Erupsi (Natal Teeth)
Pola erupsi gigi pada usia 6 bulan,
umumya dimulai dengan gigi insisif bawah dan erupsi gigi geligi susu selesai
pada usia sekitar 2,5 tahun. Erupsi gigi terlambat berkaitan dengan penyakit
gangguan metabolisme skletal terutama kretisma dan riketsia. Pada kleidokranial
displasia, eruspsi sebagian besar gigi tetap dapat gagal atau terlambat.
Etiologi :
1.
Kehilangan ruangan akibat tanggal dini gigi susu.
2.
Kista dentigerus yang menyebabkan pergeseran dan mencegah gigi untuk
erupsi.
3.
Retensi gigi susu, kadang-kadang gigi susu mengalami ankilosis, dan
4. Resorbsi akar gigi susu yang lambat akibat infeksi periapeks, meskipun
jarang terjadi dapat mengalami erupsi gigi tetap.
Gejala klinis :
1.
Posisi abnormal biasanya ditemukan pada gigi M3 bawah dan C atas.
2.
Gigi berjejal.
3.
Gigi berlebih yang menempati ruang untuk gigi normal.